Pada 23 Oktober 2015 lalu, Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Kemenakertrans) menerbitkan aturan baru terkait tata cara penggunaan Tenaga Kerja Asing (TKA) di Indonesia yaitu Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 35 Tahun 2015 (“Permenaker 35/2015”). Permenaker 35/2015 ini menghilangkan, menambah, dan mengubah beberapa pasal dalam Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 16 Tahun 2015 (“Permenaker 16/2015”).
Keluarnya Permenaker 35/2015 ini menimbulkan polemik setidaknya terkait 2 (dua) hal. Pertama, Permenaker 35/2015 ini dikeluarkan saat Permenaker 16/2015 baru mulai dirasakan efektif implementasinya di lapangan. Berdasarkan pengalaman Easybiz di lapangan, Permenaker 16/2015 baru efektif 3 (tiga) bulan setelah diterbitkan. Keluarnya Permenaker 35/2015 ini dikhawatirkan menimbulkan kebingungan di lapangan, terutama pada aplikasi permohonan RPTKA (Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing) dan IMTA (Izin Memperkerjakan Tenaga Kerja Asing) yang baru masuk pada periode antara September dan Oktober. Kedua, polemik yang timbul dari hilangnya, bertambahnya, dan berubahnya beberapa pasal dalam Permenaker 16/2015 yaitu sebagai berikut :
Dalam Pasal 3 Permenaker 16/20015 diatur bahwa perusahaan yang mempekerjakan 1 (satu) orang TKA harus dapat menyerap sekurang-kurangnya 10 (sepuluh) orang tenaga kerja lokal pada perusahaan yang sama. Memang ada pengecualian atas rasio ini jika TKA tersebut akan dipekerjakan untuk posisi tertentu, untuk pekerjaan yang sifatnya darurat dan mendesak, untuk pekerjaan yang sifatnya sementara, dan/atau untuk usaha jasa impresariat. Pasal 3 Permenaker 16/2015 ini dihapuskan oleh Permenaker 35/2015. Penghapusan pasal ini artinya menghapuskan aturan mengenai rasio jumlah TKA dengan tenaga kerja lokal.
Penghapusan diatas dikhawatirkan menghilangkan kesempatan terjadinya alih pengetahuan dan alih teknologi dari TKA ke tenaga kerja lokal. Meskipun dalam Pasal 65 Permenaker 16/2015 disebutkan bahwa perusahaan pemberi kerja dapat menugaskan TKA untuk melakukan alih teknologi dan keahlian di lembaga pendidikan dan pelatihan, namun bisa jadi hal ini tidak dilaksanakan jika tidak diwajibkan secara jelas dalam peraturan perundang-undangan. Apalagi saat ini Keputusan Direktorat Jenderal yang mengatur mengenai pendampingan TKA oleh tenaga kerja lokal untuk alih teknologi dan keahlian belum diterbitkan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 66A Permenaker 35/2015.
Di sisi yang lain, penghapusan rasio ini memberikan kemudahan bagi perusahaan yang berbisnis di Indonesia untuk memperkerjakan TKA secara lebih murah karena tidak perlu memperkerjakan lebih banyak tenaga kerja lokal dan tidak adanya kewajiban melakukan pelatihan pada tenaga kerja lokal.
Dalam Permenaker 16/2015 tidak ada larangan bagi perusahaan PMDN (Penanaman Modal Dalam Negeri) untuk memperkerjakan TKA sebagai Komisaris. Namun dalam Permenaker 35/2015 ditambahkan pasal baru antara Pasal 4 dan Pasal 5, yaitu Pasal 4A. Di Pasal 4A ini diatur bahwa perusahaan yang berbentuk PMDN dilarang memperkerjakan TKA dengan jabatan Komisaris. Larangan ini menambah daftar pekerjaan yang tidak boleh diduduki TKA. Sebelumnya dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UU 13/2003”) hanya diatur bahwa yang dilarang adalah jabatan yang mengurusi personalia atau sumber daya manusia.
Jika mengalami kesulitan untuk mengurus pendirian perusahaan dan perizinan berusaha, kamu dapat menghubungi Easybiz untuk solusi terbaik yang legal dan tepat.
Dalam Permenaker 16/2015 diatur bahwa izin RPTKA dan izin IMTA untuk pekerjaan sementara diberikan untuk:
Sementara Permenaker 35/2015 mengatur pemberian izin RPTKA dan izin IMTA untuk pekerjaan yang sementara diberikan untuk:
Perubahan ini menimbulkan pertanyaan mengenai bagaimana alih pengetahuan dan alih teknologi dapat terjadi serta izin yang harus dikantongi TKA yang mengikuti rapat pekerjaan di Indonesia.
Di Pasal 37 Permenaker 16/205 diatur bahwa perusahaan pemberi kerja bagi TKA wajib mengurus izin IMTA, terlepas dari jabatan apapun yang akan diberikan pada TKA tersebut. Pengecualian kewajiban ini hanya berlaku bagi pemberi kerja yang berupa perwakilan negara asing yang mempekerjakan TKA sebagai pegawai diplomatik dan konsuler. Permenaker 35/2015 menambahkan pengecualian kewajiban memiliki IMTA ini bagi perusahaan pemberi kerja yang memperkerjakan TKA sebagai anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris atau anggota Pembina, anggota Pengurus, dan anggota Pengawas yang berdomisili di luar negeri. Sementara bagi TKA yang berdomisili di Indonesia tetap wajib untuk memiliki IMTA.
Penambahan pengecualian ini menimbulkan pertanyaan mengenai izin yang harus dikantongi jika TKA yang berdomisili di luar negeri tersebut kemudian datang ke Indonesia untuk urusan pekerjaan yang sementara seperti rapat, memberikan ceramah, atau melakukan pekerjaan lain yang bisa sekali selesai dalam waktu singkat. Jangan sampai orang asing yang datang dengan visa turis kemudian malah melakukan pekerjaan di Indonesia. Memang, di satu sisi penghapusan kewajiban mengurus izin IMTA ini membantu mengurangi anggaran dan waktu yang harus disiapkan perusahaan dalam mengurus izin bagi TKA yang hendak diperkerjakannya, kecuali bagi perusahaan yang telah mengajukan permohonan IMTA pada periode Oktober sebelum terbitnya Permenaker 35/2015. Tapi di sisi lain perbedaan perlakuan terhadap TKA berdasarkan domisili ini juga berpotensi mengurangi pendapatan negara dari dana kompensasi penggunaan tenaga kerja asing.
Dalam Pasal 40 ayat (2) Permenaker 16/2015 diatur bahwa DKP-TKA yang dibayarkan harus dikonversi ke Rupiah. Permenaker 35/2015 menghapuskan ketentuan ini.
Penghapusan ini bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang (“UU 7/2011”). Dalam Pasal 21 UU 7/2011 diatur bahwa mata uang Rupiah wajib digunakan dalam tiap transaksi yang memiliki tujuan pembayaran dan penyelesaian kewajiban yang harus dipenuhi dengan uang. Pengecualian atas kewajiban menggunakan Rupiah hanya berlaku atas:
Di sisi lain, penghapusan kewajiban konversi ini memberikan kemudahan bagi perusahaan yang akan menjadi sponsor bagi TKA.
Terbitnya peraturan yang baru memang kerap menimbulkan pro dan kontra. Permenaker 35/2015 memang mencoba menyederhanakan prosedur pengurusan izin TKA sehingga dapat menguntungkan kalangan pebisnis di Indonesia dan TKA yang berminat untuk bekerja di Indonesia. Di sisi yang lainnya, jangan sampai peraturan baru ini bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Terakhir, kita berharap bahwa kemudahan ini jangan sampai mengurangi akses tenaga kerja lokal atas kesempatan untuk meningkatkan pengetahuan dan keahlian.