Untuk menyamakan perspektif antar kementerian dengan OSS, termasuk dengan daerah, pemerintah perlu melakukan evaluasi berkala demi penyempurnaan sistem OSS.
Kehadiran OSS melalui PP No. 24 Tahun 2018 tentang Pelayanan Perizinan Berusaha Terintegrasi Secara Elektronik atau Online Sistem Submission (OSS) telah memberikan nafas baru dalam meringkas birokrasi perizinan satu pintu. Implementasinya pun dijanjikan akan menggunakan sistem auto-approval antara sistem pada perizinan di setiap sektor dengan sistem OSS, walaupun belum sepenuhnya berlaku. Harapannya, OSS betul-betul ampuh memangkas praktik pungutan liar dalam pengurusan birokrasi perizinan baik di tingkat pusat maupun daerah.
Berbagai penyempurnaan terus diupayakan mulai dari pemindahan pengelolaannya dari Kemenko Perekonomian ke BKPM hingga pembaharuannya dari versi 1.0 menjadi 1.1, disamping memang BKPM telah lebih dulu menyelenggarakan sistem serupa OSS (SPIPISE) yang kerap dinilai lebih baik ketimbang sistem OSS yang saat itu digunakan Kemenko. Akhirnya, pada 2 Januari 2019, pelayanan konsultasi OSS secara resmi diserahterimakan kepada BKPM. Kemudian disusul dengan penyerahan resmi pengelolaan sistem OSS pada 1 Maret 2019.
BKPM mencatat, selama kurun waktu 9 Juli 2018 sampai 29 Agustus 2019, jumlah registrasi akun OSS mencapai 704.084 atau rata-rata 1.688 per hari. Aktivasi akun mencapai 654.889 atau rata-rata 1.570 per hari. Izin usaha yang terbit sebanyak 559.993 atau rata-rata 1.342 per hari. Ada pun, izin komersial atau operasional mencapai 449.603 atau rata-rata 1.078 per hari.
Menyegarkan ingatan, sejak berlakunya PP OSS memang izin prinsip penanaman modal telah digantikan oleh Nomor Induk Berusaha (NIB) yang berfungsi sebagai Tanda Daftar Perusahaan (TDP) dan Angka Pengenal Impor (API). Tidak hanya itu, PP ini juga mengakibatkan Kementerian dan Pemerintah Daerah tidak lagi berwenang menerbitkan izin yang terdapat dalam lampiran PP a quo. Sekalipun demikian, Perizinan sektor di Kementerian dan Pemda tetap diberikan wewenang untuk melakukan pengawasan terhadap pemenuhan komitmen pelaku usaha sebagai prasyarat diterbitkannya izin tetap.
Setelah memperoleh NIB, setidaknya ada 6 jenis izin yang diajukan melalui OSS, yakni Izin Usaha, Izin Komersial (Izin Operasional), Izin Lokasi, Izin Lokasi Perairan, Izin Lingkungan dan Izin Mendirikan Bangunan (IMB). Untuk Izin usaha sendiri, terbagi menjadi tiga jenis yakni Izin Usaha Perdagangan (vide; Pasal 24 ayat (1) UU No. 7 Tahun 2014), Izin Usaha Industri dan Izin Usaha Sektoral yang diatur masing-masing sektor, seperti Izin Usaha Pariwisata yang diatur melalui Pasal 15 UU No. 10 Tahun 2009 tentang Pariwisata.
Sumber: BKPM
Lantas, bagaimana user menanggapi setahun pelaksanaan OSS? Konsultan Perizinan Perusahaan Easybiz, Andrey, mengapresiasi perbaikan sistem OSS yang tergolong cepat, utamanya setelah pengelolaan OSS berpindah ke BKPM. “Sekalipun awal-awal penerapan OSS ‘ngebingungin’, koneksinya tak bagus, tapi sekarang sudah lumayan,” ujarnya.
Wajar saja, katanya, BKPM butuh 10 tahun untuk mengembangkan sistem online-nya (SPIPISE), sehingga Ia pun memaklumi waktu yang dibutuhkan OSS untuk terus disempurnakan. Sejak pindah ke BKPM, katanya, mungkin karena sudah ada contoh dasar dan konsep OSS hampir sama dengan SPIPISE maka perbaikan OSS terasa lumayan cepat. Sekalipun begitu, Andrey mempunyai catatan tersendiri atas beberapa kekurangan OSS yang masih dirasakannya sebagai user hingga saat ini.
Ia juga mengatakan, awalnya lantaran PP OSS mengatur begitu general ada kebingungan di lapangan soal pengurusan izin usaha untuk jenis perusahaan yang spesifik. Terlebih penerapannya yang tak serentak di kementerian lembaga dan daerah. Hingga akhirnya mulai keluar beberapa peraturan menteri yang cukup me-resolve permasalahan, khususnya setelah dua bulan terakhir ini. Itupun setelah dikomplain beberapa kali. “Misalnya, KBLI-KBLI yang tak jelas, sudah mulai sebagian diperjelas,” ujarnya.
Dulu zaman sebelum OSS, katanya, ada beberapa bidang usaha yang di urus di PTSP DKI (eg) menggunakan SIUP biasa bisa. Tetapi pasca OSS diterapkan pengurusannya malah masuk ke sektor pariwisata. Herannya, di peraturan pelaksana sektor pariwisata bidang usaha itu tidak ada. “Tapi kemarin ada beberapa yang sudah di resolve,” terangnya.
Jika mengalami kesulitan untuk mengurus pendirian perusahaan dan perizinan berusaha, kamu dapat menghubungi Easybiz untuk solusi terbaik yang legal dan tepat.
Paling terbaru, lanjut Andrey, ada KBLI yang tiba-tiba dimasukkan ke sektor perdagangan, itupun ada yang penjelasannya kurang, sebatas dimasukkan ke sektor itu berdasarkan hasil keputusan rapat. Alhasil, ketika masuk ke OSS, mappingnya izin usahanya ada dua, bisa sektor perdagangan dan bisa sektor pariwisata. “Jadi dia satu bidang usaha, tapi izin usahanya ada dua, jadi sebenernya sektor yang mana?” tukasnya.
Sebelumnya, Direktur Eksekutif Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO), Danang Girindrawardana, juga mendukung agar sistem OSS segera disempurnakan. Sebab fakta di lapangan menunjukkan bahwa belum semua proses perizinan yang dilayani OSS bisa berjalan dengan baik. “OSS ini kami mendukung, tetapi segera disempurnakan, segera dipastikan itu bisa berjalan baik,” kata Danang.
Para pengusaha terutama pengusaha yang sudah existing, lanjutnya, menaruh rasa khawatir terhadap pelaksanaan OSS ini. Terlebih, implementasi OSS di daerah masih minim. Hal ini disebabkan adanya peraturan daerah yang masih saling bertabrakan dengan Perpres Perizinan Terintegrasi.
Sementara proses penyesuaian peraturan diberikan selama enam bulan oleh pemerintah pusat. Kekhawatirannya, katanya, akan ada beberapa jenis perizinan yang membutuhkan persetujuan tingkat regulasi perda, pergub, yang masih harus menunggu enam bulan lagi. “Perdanya perlu dicabut dulu dan diberi waktu enam bulan. Ini memperlama proses perizinan investasi di daerah tertentu,” jelasnya.
Dari sisi notaris, seperti diketahui sebelum masuk pada pengurusan izin melalui OSS, terlebih dahulu mengurus SK Pendirian Badan Hukum atau Badan Usaha melalui SABH/SABU pada Kementerian Hukum dan HAM lewat notaris. Awalnya, hanya badan hukum seperti PT saja yang perolehan SK pendiriannya di Kemenkumham, Badan Usaha lain seperti CV, Firma dan Persekutuan perdata perlu melalui pengukuhan di Pengadilan.
Namun sejak lahirnya Permenkumham No. 17 Tahun 2018 tentang Pendaftaran Persekutuan Komanditer, Persekutuan Firma dan Persekutuan Perdata, maka Badan Usaha harus didaftarkan melalui SABU kepada Menteri Hukum dan HAM, tak lagi lewat Pengadilan. Pendaftaran SK Pendirian BH maupun BU ini, diawali dengan pengajuan nama perusahaan, input data lainnya seperti NPWP pemegang saham serta NPWP Direksi dan Komisaris (semuanya harus valid), alamat, dan penentuan bidang usaha berdasarkan Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia (KBLI). “Input data ke SABH/SABU ini dilakukan oleh notaris,” jelasnya.
Pengisian data oleh notaris itu, katanya, harus dipastikan tidak salah, mengingat data yang ada pada SABU/SABH sudah langsung terintegrasi dengan sistem OSS. Lahirnya Perka BPS No. 19 Tahun 2017 tentang Perubahan KBLI 2015 (KBLI 2017), ketika itu memunculkan masalah dalam proses input data pemilihan KBLI. Mengingat lembaga OSS ketika diluncurkan langsung menyesuaikan dengan KBLI 2017. Sementara penyesuaian KBLI 2017 pada SABH baru berlaku efektif pada pertengahan 2018, sebelumnya masih merujuk KBLI 2015.
“Perbedaan itu akhirnya mengakibatkan berbedanya bidang usaha sebenarnya dengan bidang usaha yang tertera pada sistem OSS. Akibatnya notaris banyak dikomplain pelaku usaha ketika itu,” jelasnya.
Notaris lainnya Aulia Taufani pernah mengatakan soal apakah KBLI yang ada di NIB jumlahnya harus sama dengan KBLI yang dimaksud dalam data AHU? Sejak perpindahan lembaga OSS ke BKPM, terkait masalah ini Ia mengaku BKPM cukup moderat. Misalnya, di akta notaris dan di AHU pelaku usaha bisa mencantumkan banyak KBLI, namun hanya izin tertentu saja yang diurus melalui OSS dan hal itu diperkenankan oleh BKPM. Jadi cukup disimpan dalam database tapi tidak dimunculkan dalam NIB.
“Masalahnya, dalam praktik ada kejadian misalnya NIB nya 5, kemudian dalam perjalanan karena pelaku usaha tak bisa memenuhi komitmen, dia mau tarik yang 5 tadi jadi tinggal 2 atau 3 KBLI saja. Nah ini belum ada menu menghapus KBLI yang ada di NIB,” ungkapnya.
Akibatnya, hanya karena satu isu KBLI saja, maka bisa terjadi pembatalan, penghapusan atau pencabutan izin. Alhasil NIB-nya harus dirobek, padahal NIB untuk identitas pelaku usaha itu sudah tersebar luas. Untuk itu, ia berharap agar konsep OSS 1.1 yang dikembangkan BKPM betul-betul user-friendly, dan itu harus ada basis legalnya.
Salah satu persoalan yang paling disorot pelaku usaha selama ini, soal penambahan persyaratan tertentu di luar NSPK masing-masing sektor yang biasa dilakukan oleh DPMPTSP Provinsi Kab/Kota. Memang notifikasi dilakukan pemda melalui OSS 1.0, namun tetap saja di lapangan ditambahkan persyaratan baru seperti misalnya untuk mendapatkan izin tertentu harus memperoleh persetujuan dari bupati terlebih dahulu.
Untuk mengantisipasi celah tambahan syarat baru itu, kini Pasal 62 RP BKPM telah mengunci tegas bahwa praktik seperti itu tak lagi dibenarkan. “Jadi untuk menghindari yang seperti ini dikunci dulu melalui peraturan BKPM, jadi daerah enggak boleh menambah-nambahkan syarat lagi,” ujarnya.
Sayangnya, pada praktik masih saja dijumpai dualisme perspektif dalam penerbitan izin antar pusat dan di daerah. Hal ini dirasakan langsung oleh praktisi yang kerap mengurus perizinan lewat OSS. Menurut Andrey, masih banyak izin yang seharusnya cukup diurus di OSS, tapi izin yang sebetulnya sama itu masih harus diurus lagi di daerah.
Direktur Easybiz Leo Faraytody mengambahkan sebetulnya PP OSS memang memberikan banyak pekerjaan rumah kepada Kementerian dan daerah agar OSS itu bisa berjalan dengan baik. Mulai dari peraturan pelaksananya, tata ruang isunya dikasih waktu 6 bulan untuk membuat RDTR di seluruh kab/kota. Sementara, dari total 500-an Kab/Kota di Indonesia, sampai sekarang yang sudah punya RDTR baru 40 kab/kota. Ia menilai hal ini yang mungkin membuat OSS menjadi belum maksimal.
“Fasilitas atau kemudahan yang harusnya bisa dirasakan oleh pelaku usaha kalau daerah itu punya RDTR jadi belum bisa, masih banyak kebingungan. Bisa lebih bagus kalau kementerian dan daerah itu responsive,” tegasnya.
Bahkan untuk DKI yang RDTR-nya sudah ada masih juga tak luput dari persoalan. Andrey menjelaskan, Pemda DKI yang hanya diberi kewenangan untuk memverifikasi dan memeriksa zona tata ruang saja, pada praktiknya verifikasi yang dilakukan bisa lebih dari itu. Masih ada penolakan yang sebetulnya bukan merupakan dasar untuk menolak di PP OSS, tapi Pemda DKI bisa mengatur sendiri sehingga menolak agar SIUPnya tidak keluar.
Contohnya, katanya, tak ada larangan dalam PP OSS bahwa pemohon yang membuat akun bisa siapapun yang namanya ada dalam akta, baik itu direksi ataupun komisaris. Tapi ternyata, di Pemda DKI ada penolakan bila akun yang dipakai merupakan akun komisaris, disitu Pemda meminta perubahan akun pemohon menjadi direksi.
“Padahal sama saja, PP OSS tidak melarang itu, yang penting namanya ada dalam akta, ktpnya jelas, e-ktp sudah tercatat di Dukcapil, bisa jalan. Tapi kok serta merta DKI bisa menolak?” katanya.
Masalah lain, ketika awal Jakevo dimasukkan ke sistem OSS, komunikasi yang dirasakan Andrey tidak lancar. Harusnya, katanya, ketika kita masuk ke sistem OSS langung ternotifikasi ke Pemda supaya Pemda menjalankan perannya untuk memvalidasi, tetapi setelah sekian lama ditunggu masih belum ada respon dari Pemda. Padahal, awalnya sistem jakevo digadang-gadang membuat proses di Pemda cukup 3 jam selesai.
“Kita cek status di bkpm status sudah dikirim ke pemda, tapi kita cek di pemda dki dia belum terima pemberitahuan dari sistem OSS. Sistem jakevo tidak dibaca. Itu pengalaman betul terjadi ke saya. Sampai marah-marah di BKPM, di Kecamatan, di Walikota, di mall PTSP kuningan, saya gimana kalau harus dipimpong kemana-mana?,” keluhnya.
Untuk menyamakan perspektif antar kementerian dengan OSS, termasuk dengan daerah, Leo berpandangan pentingnya pemerintah melakukan rapat evaluasi berkala antar seluruh pemangku kebijakan demi penyempurnaan sistem OSS ini. Tanpa adanya evaluasi berkala, maka tegangan ego-sektoral antar kementerian maupun masing-masing daerah akan terus ada.
“Harus ada evaluasi periodik, ditagih-tagihin, mana nih Kementerian? Mana daerah? Kalau dibiarkan saja belum ada peraturan teknis, PR masih banyak, dikasih waktu 6 bulan tidak selesai-selesai ya sistemnya bakal melempem. Buktinya, masih banyak Pemda yang belum mengeluarkan RDTR untuk daerahnya. Akhirnya yang awalnya paradigma OSS mempermudah proses malah menambah proses,” jelasnya.
Dari penilaian Andrey, dari seluruh kementerian yang responnya paling bagus dan responsive dengan sistem OSS dinilainya hanya Kominfo. Jadi kalau memilih bidang usaha x, komitmen komersialnya harus ke kominfo terkait e-commerce misalnya. Ketika mengurus komitmen itu ke Kominfo secara online, kominfo langsung notifikasi ke user bahwa kita sudah urus PSE dan langsung diarahkan untuk klik beberapa penyelesaian di sistemnya Kominfo.
Begitu dijalankan, katanya, kominfo langsung koordinasi dan notifikasi ke sistem OSS. Akhirnya secara otomatis di sistem OSS status pengurusan izin yang tadinya belum memenuhi komitmen (masih ceklist merah), sudah langsung berubah menjadi hijau (tanda terpenuhi).
“Kita jadi enggak perlu balik lagi ke OSS untuk memberi tahu kita telah menyelesaikan komitmen, tak perlu lagi upload sesuatu untuk memberi tahu ke OSS. Karena Kominfo sudah langsung terkoneksi ke sistem OSS secara otomatis bahwa PT ini dengan nomor NIB ini sudah menjalankan janji dia (komitmen). Bahkan produknya Kominfo bisa didownload lewat sistemnya OSS,” jelasnya.
Untuk itu, penting kiranya agar semangat seluruh kementerian sektor maupun pemerintah daerah satu visi secara kompak lebih responsive untuk mengintegrasikan sistem di lembaganya dengan sistem OSS, termasuk harus memiliki kesamaan perspektif antara pengaturan pengawasan komitmen dengan PP OSS. Untuk segi sinkronisasi aturan di lingkungan Kementerian dengan PP OSS, Andrey menilai, baru Kementerian Perdagangan yang peraturan menterinya sudah in-line dengan PP OSS.
“Dia terlihat betul-betul menterjemahkan PP 24/2018 ini. Sementara masih ada beberapa peraturan menteri lain yang ngambang, seperti Permen pariwisata yang tak tegas menjelaskan sebetulnya apa yang jadi komitmen komersialnya? Izin usahanya bagaimana?” tukasnya.
Artikel ini dipublikasikan di kanal hukumonline.com pada Senin, 21 October 2019.